SEMINAR DAN PELATIKAN PW GMPI JATENG

Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI) mengadakan pelantikan pengurus dan seminar bertema ’’Pemilihan Gubernur Dikembalikan ke DPRD, Efektifkah?’’. Kegiatan diadakan Sabtu (19/2) di Hotel Pandanaran dengan keynote speaker Gubernur Bibit Waluyo. Pembicara seminar Andreas Pandiangan (KPU Jateng), Abdul Aziz MSi (Komisi A DPRD Jateng), Hilman Ismail Metareum (Ketua PP GMPI), dan Teguh Yuwono.

Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) Jawa Tengah, Teguh Yuwono, Sabtu (19/2/2011), pada seminar mengemukakan pemilihan gubernur dapat melalui penunjukan oleh presiden maupun pemilihan oleh lembaga legislatif di provinsi. Pemilihan gubernur yang tidak langsung, juga dapat mengurangi tingkat pragmatisme di masyarakat yang kini mencapai 77 ,8 persen pada setiap pemilu kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Teguh Yuwono mengatakan, tingkat pragmatisme masyarakat menyikapi pilkada sebesar 77,8 persen adalah hasil penelitian yang dilakukan LPPD terhadap kegiatan pilkada di sejumlah daerah di Jateng setahun terakhir. Ini bukti pemilih memegang prinsip tidak ada uang, ya tidak memilih.
Dengan kenyataan tingkat pragmatisme di masyarakat tinggi, tentu saja upaya pemerintah mengembalikan kewenangan memilih gubernur ke lembaga legislatif bukan persoalan mudah. Masyarakat akan banyak menentang, mereka beranggapan pilgub tidak langsung itu tidak konsisten dalam pengembangan demokrasi di Indonesia.
Kenyataan bahwa gubernur pada sistem pemerintah presidensil, adalah wakil pemerintah pusat di tingkat provinsi, menurut Teguh Yuwono, perannya hanyalah sebagai perwakilan atau koordinator pemerintahan di daerah.
Sistem pemilihan apa pun sebenarnya tidak begitu penting, mengingat kesejahteraan masyarakat lebih bertumpu pada itikad tokoh atau sosok gubernur mendedikasikan pengabdian guna mewujudkan kesejahteraan setempat.
Kita tidak perlu mendebatkan tentang legitimasi seorang gubernur yang dipilih langsung atau tidak langsung. Kunci desentralisasi itu lebih pada pemerintah di kabupaten dan kota, ujar T eguh Yuwono yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Diponegoro, Semarang.
Anggota DPRD Jateng, Abdul Aziz, memaparkan pemilu langsung memang tidak efisien dan biayanya tinggi. Dari pengalaman pemilukada di 35 kabupaten dan kota di Jateng, biaya bisa mencapai Rp 1 triliun. Untuk menggelar pemilu gubernur saja, memerlukan anggaran minimal Rp 600 miliar.
Dana pemilu sebesar itu, kata Abdul Aziz, sekiranya digunakan untuk membiaya peningkatan ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan usaha kecil dan menengah, tentunya hasil akan lebih nyata untuk menyejahterakan masyarakat.
"Dari banyak pilkada langsung, juga kerap terjadi konflik horizontal di masyarakat. Konflik ini bisa berlanjut karena juga permanen. Untuk itu, pemerintah bisa mengurangi konflik dengan mengkaji pilgub diserahkan pada lembaga legislatif," kata Abdul Aziz.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, Andreas Pandiangan, berpendapat, solusi pelaksanaan pilkada secara serentak hanya akan mengurangi biaya penyelenggaraan yang makin efektif. Namun, biaya tinggi terkait pengumpulan massa pendukung oleh kandidat calon akan terus berjalan terkecuali adanya pengawasan yang lebih ketat menyangkut politik uang.